Pemerintah diingatkan bahwa ‘hadiah’ dari Qualcomm berupa mesin pemindah ponsel ilegal yang diberi nama Device Identification, Registration, and Blocking System (DIRBS), atau sekarang berganti nama menjadi Sistem Informasi Basis Data IMEI Nasional (SIBina) rawan disalahgunakan untuk mengintip data pribadi masyarakat di Tanah Air.
Menurut ahli telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Joseph Matheus Edward, sudah jadi kewajiban dari warga negara yang baik untuk mendukung program pemerintah. Terlebih program tersebut berkaitan dengan usaha memberantas produk ilegal, khususnya smartphone ilegal.
“Tapi, yang tak kalah mengkhawatirkan, kenapa harus Qualcomm, perusahaan asing dari Amerika Serikat yang bergerak di bidang telekomunikasi ini mau memberikan mesin DIRBS secara cuma-cuma ke Kemenperin,” ujar Ian, Kamis (15/8), dilansir dari Investor Daily.
Menurutnya, kecurigaan tersebut bukan tanpa sebab. Dirinya merasa khawatir jika alat tersebut mampu menarik dan mencuri data dalam jumlah besar. Data-data yang tersimpan pada HP masyarakat Indonesia. Dan dengan kecanggihan alat tersebut, hal ini nggak mustahil untuk dilakukan.
“Pencurian data ini bisa dilakukan dengan mendeteksi jenis chipset pengguna dan nomor HP operator. Apalagi, agar DIRBS bisa berjalan, operator telekomunikasi juga diwajibkan untuk membeli alat tambahan dari vendor (Qualcomm, red),” terangnya.
Nantinya, jika Qualcomm berhasil menambang big data, baik yang berasal dari operator maupun masyarakat, Ian mensinyalir jika data tersebut bisa dipakai untuk kebutuhan yang lebih besar. Salah satunya adalah untuk mendeteksi lalu menghitung, berapa jumlah chipset kompetitor dari Qualcomm di Indonesia.
Dengan modal data yang akurat ini, nantinya Qualcomm pun bisa melakukan analisa dan merancang strategi untuk mengatasi solusi bagi pangsa pasar Indonesia. Sehingga, ke depan, Qualcomm pun pada akhirnya bisa memperkirakan, jenis chipset seperti apa yang dibutuhkan masyarakat Tanah Air.
Di sisi lain, komisioner Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih turut buka suara. Menurutnya, pemerintah ada baiknya mempertimbangkan lebih dalam terkait rencana pembuatan regulasi pemblokiran HP tanpa IMEI resmi. Terlebih jika pemerintah sudah mantab untuk menggunakan alat dari Qualcomm.
“Jangan sampai ada pihak yang memanfaatkan big data untuk kepentingan tertentu,” jelasnya.
Di samping itu, kalo pemerintah tetap bersikukuh untuk menerapkan program pendeteksian IMEI ponsel ini, Ahmad pun meminta agar kementerian terkait berkenan membuat standar pelayanan perlindungan konsumen terlebih dahulu. Hal ini dilakukan agar Pemerintah bisa memastikan keamanan data pribadi dari pemilik IMEI.
Ahmad pun menjelaskan jika pendeteksian IMEI smartphone sangat terkait dengan informasi dan aset pribadi masyarakat. Sehingga, jika bisa, jangan sampai diakses oleh sembarang orang atau lembaga. Terutama oleh pihak lain yang menyediakan alat tersebut secara Cuma-Cuma.
Jadi, sambung Ahmad, pemerintah seharusnya hanya memberikan izin kepada lembaga yang sudah diberi otoritas oleh Undang-Undang terkait akses IMEI ponsel di Indonesia. Dan jika sudah terlaksana, lembaga tersebut diwajibkan untuk segera memusnahkan data yang sudah dikumpulkan.